Dalam, ada Pesan dengan Segenap Kebingungan


Dalam. Ini kata yang saya rasa tepat untuk mewakilkan kebingungan saya setelah beberapa  kali mengulang membaca  cerpen 

'Setelah Para Tetua Pergi'. 

https://www.ngodop.com/2021/07/setelah-para-tetua-pergi.html?m=1 

Saking dalamnya saya sampai kehilangan kata-kata untuk bisa menjelaskannya, haha... (Jujurlah....Bilang saja tidak tahu buk...)

agak bingung bagaimana merincikan apa yang saya tangkap dari maksud tulisan ini. ya...tepatnya bisa dibilang kebingungan. 🥴😑😑

Begini... jika boleh saya menghubungkan cerita ini dengan kondisi yang masih menyedot perhatian cukup banyak di seluruh dunia saat ini, yaitu pandemi yang sedang terjadi sekarang. saya rasa cukup memiliki alasan kuat jika dikaitkan pada kalimat yang saya garis bawahi pada paragraf yang ditulis oleh penulis yang akrab disapa dengan uncle ik ini

“Kematian yang wajar. Kematian yang seolah memanusiakan manusia itu sendiri. Seolah-olah semua terjadi secara alami tanpa ada keterlibatan kita di dalamnya. Jadi lagi-lagi harus saya jelaskan bahwa seberlumuran darah apapun tangan kita, kita bukanlah pembunuh.

cukup ber-alasan-kan ya...

kemudian sebuah  upaya (kabarnya) yang dilakukan satu kelompok atau segelintir orang untuk meringankan beban bumi. 

Ya, bumi kita mungkin sudah terlalu berat dengan populasi manusianya yang setiap hari semakin bertambah. 

Makin besarnya jumlah populasi, maka makin besar pula kebutuhan hidup harus dipenuhi. Itu hukumnya. 

Kembali ke cerpen yang ditulis oleh Uncle Ik. Seorang laki-laki tambun yang duduk ditengah lingkaran meja para tetua, saya arti kan sebagai tempat asal mula wabah ini datang. Sedangkan para tetua adalah para pemimpin-pemimpin negara yang berang, yang sedang kesal dan kewalahan dengan apa yang mereka hadapi akibat dari wabah yang tersebar dengan cepat dari tempat berasalnya, dan dengan mudah juga menimbulkan kematian jika tidak mendapatkan penanganan segera.

Tapi... sekaligus senang. Senang sebab rumah (bumi) tempat tinggal yang sudah penuh dengan penghuni (dengan berbagai kepentingan). Akhirnya akan berkurang sedikit demi sedikit, dengan kematian yang wajar. Kematian yang memanusiakan manusia itu sendiri. Seolah-olah terjadi secara alami. 

nah para pemimpin-pemimpin negara yang berang inilah juga yang bertugas sebagai para penjaga. baik menjaga keberlangsungan hidup rakyatnya kemudian dan juga harus berhati-hati dalam menjaga keselamatan mereka sendiri dari bahaya wabah yang mengancam. 

“Justru kita adalah para penjaga agar rumah ini tetap berpenghuni. Sebab salah sedikit saja kita dalam bertindak, maka akibatnya semua dari kita mati. Punah. Rumah ini akan kosong tanpa penghuni.”

Uncle Ik, cukup rapi menyelipkan beberapa peran 'penjahat bijak' dalam ceritanya. 

Pada bagian orang bertubuh tambun yang sedang tertidur di tengah lingkaran meja, saya mengartikan nya sebagai negara yang kini merasa begitu berjaya sebab telah melewati masa sulitnya pandemi. Lihat kiasan miris yang digunakan penulis. Mendengkur, bukankah hanya bisa dilakukan ketika tidur dalam keadaan sangat pulas. Dan tidur pulas atau nyenyak ini pastinya nikmat sekali. kemudian sudah tak lagi peduli dengan para tetua yang mengelilingi dengan membawa perasaan-perasaan camuk yang beragam dari masing-masing mereka (para tetua). bahkan tak peduli dengan tawaran-tawaran yang biasa diambilnya, tapi kali ini tidak.  Masing masing kita tahu bukan, bagaimana kondisi 'negara asal' wabah ini?

Demikian sedikit yang bisa saya cerna dari cerpen bersastra tinggi ini. Mohon maafkan saya jika ada yang tidak berkenan dan kurang sepaham dengan cara saya mengartikan jalan cerita dari cerpen ini. Saya sungguh baru belajar mengenai banyak jenis tulisan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TERJEBAK (bag.1)

Menulis

Menggantung mimpi (bag. 2)