Mengenal Sosok Penyair yang Kini Tinggal Kenangan Sapardi Djoko Damono
Sosok yang satu ini dikenal sebagai salah satu penyair ternama Indonesia. Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, sepenggal syair yang ditinggalkan kepada generasi bangsa berjudul Hujan di Bulan Juni
HUJAN DI BULAN JUNI
Oleh Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan JuniDirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan JuniDihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu,Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Namanya dikenal dengan karyanya yang mampu menggugah hati. Lengkapnya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Sosok Pujangga yang lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940.
HANYA
Oleh Sapardi Djoko Damono
Hanya suara burung yang kau dengar
Dan tak pernah kau lihat burung itu
Tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kau rasa
Dan tak pernah kau lihat angin itu
Tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
Dan tak pernah kaulihat siapa aku
Tapi yakin aku ada dalam dirimu
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang dikenal lewat berbagai puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah abdi dalem di Keraton Kasunanan, mengikuti jejak kakeknya. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Hal itu menyebabkan orang tuanya memberinya nama Sapardi. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan.
Sapardi Djoko Damono menikah dengan Wardiningsih. Sosok istri Sapardi Djoko Damono ini juga berasal dari Jawa. dari pernikahan ini Sapardi Djoko Damono dan Wardiningisih dikaruniai dua orang anak, seorang anak perempuan bernama Rasti Sunyandani dan seorang anak laki-laki bernama Rizki Henriko
Mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Kasatrian kemudian lanjut ke SMP II Mangkunagaran pada tahun 1955 dan SMA II di Margoyudan pada tahun 1958. Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Dari kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastra, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak hanya menulis puisi, namun juga cerita pendek. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit menguasai permainan wayang, karena kakeknya selain menjadi abdi dalem juga bekerja sebagai dalang
Pada perjalanan hidup beliau selanjutnya, Sapardi Djoko Damono pindah dari Semarang menuju Jakarta. Perpindahan ini karena beliau menjabat Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia yang waktu itu sedang menerbitkan Majalah Sastra Horison.
Bada tahun berikutnya, sekitar tahun 1974, Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini sempat menjadi pengajar di Fakultas Sastra, kalau sekarang dikenal dengan nama Fakultas Ilmu Budaya setelah mengalami beberapa perubahan di Universitas Indonesia. Sekitar tahun 1995-1999, ia sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia dan juga menjadi guru besar disana.
Dalam kurun waktu yang sama, Sapardi Djoko Damono juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia.
Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), pada setiap tahunnya, dewasa ini selalu ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebut
Pendiri Yayasan Lontar ini memang tak diragukan lagi karya sastranya. Terlihat ada banyak puisi dan syair yang telah diciptakan oleh sosok Sapardi Djoko Damono. Selain dua puisi nya yang terkenal di atas, Berikut ini adalah kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono :
AKU INGIN
Oleh Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
HATIKU SELEMBAR DAUN
Oleh Sapardi Djoko Damono
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
Biarkan aku sejenak terbaring di sini
Ada yang masih ingin kupandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi
YANG FANA ADALAH WAKTU
Oleh Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu. Kita abadi
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi
RUANG TUNGGU
Oleh Sapardi Djoko Damono
Ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
Ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
Beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
Ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
Namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih dari kamar periksa
Ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
Tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya
PADA SUATU HARI NANTI
Oleh Sapardi Djoko Damono
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
Sastra Sapardi Djoko Damono
• Duka-Mu Abadi (1969)
• Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
• Mata Pisau (1974)
• Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
• Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
• Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
• Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
• Perahu Kertas (1983)
• Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
• Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
• Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H.
McGlynn)
• Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
• Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak
Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
• Hujan Bulan Juni (1994)
• Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
• Arloji (1998)
• Ayat-ayat Api (2000)
• Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
• Mata Jendela (2002)
• Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
• Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
• Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)"
(2005; salah seorang penyusun)
• Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
• Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
• Kolam (2009; kumpulan puisi)
• Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
• Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
• The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
• Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
• Trilogi Soekram (2015; novel)
• Hujan Bulan Juni (2015; novel)
• Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
• Suti (2015, novel)
• Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
• Yang Fana Adalah Waktu (2018;novel)
Dalam dunia literasi, Beliau ini adalah sosok panutan. Bahkan beberapa karya beliau sudah dialih bahasa ke beberapa bahasa yang ada di Dunia. beberapa karya beliau yang paling fenomenal adalah Hujan Bulan Juni (1991), Ayat-Ayat Api (2000), Pada Suatu Hari Nanti (2013), dan dua novel terbarunya yang rilis di tahun 2017 dan 2019, yakni Pingkan Melipat Jarak dan Sepasang Sepatu Tua.
Beliau ternyata juga meninggalkan banyak karya musikalisasi puisi. Bahkan tercatat dalam Profil Sapardi Djoko Damono ia memulai karyanya sejak 1987.
Beberapa kegiatan beliau ini merupakan upaya untuk mengapresiasikan karya sastra kepada siswa Menengah Atas. Saat itulah tercipta musikalisasi "Aku Ingin" oleh Ags Arya Dipayana dan "Hujan Bulan Juni" oleh Umar Muslim.
Dalam karirnnya, karya yang paling fenomela adalah Album Hujan Bulan Juni pada tahun 1990. Kala itu, Sapardi Djoko Damono memformasikan sebuah musikalisasi dari seluruh syair dalam sajaknya.
Kala itu, ia berkolaborasi dengan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, selanjutnya album Hujan dalam komposisi menyusul sekitar 6 tahun setelah itu, tahun 1996.
Sosok penyair yang dilabeli sebagai sang maestro sastra Indonesia, kini telah tiada, meninggalkan sejuta sajak, mewariskan segudang sastra, kabar duka yang datang dari pihak keluarga Sapardi Djoko Damono. Beliau sudah dirawat dirumah sakit sejak 9 Juli 2020 karena fungsi organnya yang menurun, kemudian beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Ahad, tanggal 19 Juli 2020.
Demikianlah profil Sapardi Djoko Damono, Sosok sederhana Penyair dan Sastrawan Indonesia yang Tinggal Kenangan. semoga semangat beliau dalam berkarya dapat menginspirasi generasi muda Indonesia, dan semoga beliau ditempatkan disisi Allah SWT, Amin Ya Rabbal Alaamiin
Dari berbagai sumber. (Swarariau.com, Gramedia Blog, wikipedia)
Dari sekian banyak puisi SDD, judul yang aku ingin itu yang paling familiar kak. Kalau hujan di bulan juni yang aku inget filmnya, belum pernah baca bukunya langsung.
BalasHapusOh gitu ya. Makasih mba Zakia masukannya
Hapus