Menggantung Mimpi (bag.3)

Tia memandang Tris yang duduk diatas bebatuan yang berada di bibir pantai dengan perasaan sedih, sudah tiga bulan dari hari itu, saat iya berlari kearah pantai untuk mencari mamak, saat tak ditemukan dimanapun ia berlari pulang ke rumah dengan teriakan panik. 

Sejak hari itu setiap sore jika Tia pulang dari pasar, ia dapati adik perempuannya melamun memandang pantai dengan wajah sedih. Tia mengingat semua itu, air matanya menetes melihat keadaan adik nya yang semakin hari semakin kurus dan mereka semua tidak terurus. Terlebih Sahrel yang baru berumur 15 bulan. Si bungsu terpaksa harus mengkonsumsi susu kaleng yang dibuatnya seencer mungkin untuk bisa berhemat dan nasi putih yang diberi garam atau kecap untuk mengenyangkannya. Kalau sebelumnya ia akan bekerja dipasar pada waktu sore dan di hari libur sekolah kini ia harus kepasar setiap pagi hingga sore hari. Ia tak lagi bersekolah karena harus bekerja juga menjaga dan mengurus adik-adiknya, mungkin sudah menjadi nasibnya hanya bisa merasakan duduk di bangku kelas enam .

Di pagi hari jika telah selesai memandikan dan memberi makan Sahrel ia akan serahkan penjagaannya kepada Tris yang juga tak lagi sekolah, masa-masa indah di kelas dua harus Tris cukupkan karena keadaan yang tak pernah mereka harapkan seperti sekarang. Kehidupan sebelum ini memang sakit tapi kini jauh lebih menyakitkan tanpa mamak dan bapak di sisi mereka.

Tak ada waktu untuk memikirkan akan mencari mamak atau bapak kemana, bias menghasilkan rupiah untuk membeli secanting beras yang bias dimasak lalu disantap untuk Tia dan ketiga adiknya, itu saja fokusnya sekarang.

Dibantu Ifan yang juga tak lagi bersekolah, setidaknya dapat menambah pendapatannya dari upah-upah yang mereka kumpulkan dari pasar.

Ifan sekarang sudah berhenti menangis, selain karna menangisi kepergian mamak dan bapak setelah peristiwa malam itu. Iya juga sering menangis jika melihat anak-anak berseragam maroon dan hitam melintasi pasar sambil memeluk iqro’ dan ada juga yang memeluk Al Qur’an. Ifan ingin mengaji dan belajar sholat, Tia tau keinginan adik laki-lakinya itu sejak lama. Karna saat membantu pekerjaan-pekerjaan para penjual dipasar sebelum adzan penanda sholat asyar menggema, ketika rombongan anak-anak berseragam maroon-hitam itu lewat, ifan pasti akan terus memandangi mereka sampai hilang bayangannya di perempatan jalan pasar ini.

Pernah Ifan sampaikan ke mamak niatnya untuk belajar mengaji di Rumah Qur’an, tapi mamak hanya menjawab “Nanti” dan kini kata “Nanti” itu sekarang berarti “Tidak” dengan kondisi kami sekarang.


Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TERJEBAK (bag.1)

Menulis

Menggantung mimpi (bag. 2)