Menggantung Mimpi (bag.4)

Ifan sekarang sudah berhenti menangis, selain karna menangisi kepergian mamak dan bapak setelah peristiwa malam itu. Iya juga sering menangis jika melihat anak-anak berseragam maroon dan hitam melintasi pasar sambil memeluk iqro’ dan ada juga yang memeluk Al Qur’an. Ifan ingin mengaji dan belajar sholat

Tia mengingat adik laki-lakinya itu, dia ingin mewujudkannya. Dia akan melakukan apa saja untuk membuat adik-adiknya melupakan kesedihan dan kesulitan yang mereka alami tiga bulan terakhir ini. Tapi dengan cara apa? Kalimat yang selalu memenuhi otaknya.

Tia menyandarkan sepeda bututnya di pohon akasia samping rumahnya. sesaat matanya melihat bumbung atap rumah bertingkat dua yang terletak agak jauh dari tempatnya tinggal, rumah itu juga kusam dan suram sama seperti rumahnya, bedanya rumah itu permanen tidak seperti rumahnya yang jika di tiup angin kencang pasti akan terbang.

Rumah dua tingkat itu memberikan banyak kehangatan dan kenangan yang indah dalam hidup Tia, dirumah itulah kedua adiknya mengenal nama Nabi Muhammad dan menghafal surah Al fatihah juga menghafal tiga surah yang berawalan Qul, dan dirumah itu pula mereka mulai belajar gerakan juga sedikit bacaan sholat, dan membaca huruf hijaiyyah "andai Bubun masih ada". Harap nya dalam hati. Ia kemudian masuk kedalam rumah.

“Oh Tia..!”. teriak mak nis Gayah membuyarkan lamunan Tia. Ada apa mak nis Gayah datang ke rumah.

“ade ape mak nis ?” jawabnya dengan penasaran.

“ini mak nis tadi maok ngasi kau laok, ade ikan gembong goreng dan sayok bening . Same ade titipan upah dari nek unggal, die lupa ngasi kau tadi. Kau dah pulang dolok”, jelasnya

“aok ye mak nis, saye pun lupa. Makaseh laoknye mak nis, Alhamdulillah”, syukurnya.

Sesaat mak nis memandang suasana rumah Tia yang suram , lalu ia berkata lagi

“oh Tia, adek-adek kau mane nak?” tanyanya lagi.

“Tris dipantai tuh, Sahrel tidok, Ifan tadi habis dari pasar langsung ke sungai, mandi”. Jelasnya

“oh Tia, mak nis nih sedeh nengok kitak nih, udahlah… kau tinggalkan lah rumah kau nih, kau ikot mak nis jak. Mak kau mungkin lamak baru balek”, pinta nya. Mak nis memang sudah lama menawarkan diri untuk merawat Tia dan Sahrel. Tapi karna kondisinya yang juga terbatas, mak Nis hanya mampu merawat dua saja dari empat bersaudara itu. Ifan disarankannya untuk mengikuti pak Malik, dan Tris akan ikut mak Ayang saudara perempuan mak nis yang tidak memiliki anak, Beliau tinggal di kampung sebelah.

“maaf mak nis, bukan Tia tak maok, biarlah Tia menunggu disini besame adek-adek, mungkin lusa mak atau bapak ade balek. Tia pun tak maok bepisah dengan adek-adek. Setidaknye kalau besame, kamek dapat saling menghibur, kalau bepisah adek-adek tak maok, bepisah buat mereke tambah sedeh.” Tolak nya dengan halus.

“ oh Tia, tapi be nak, saket idop kitak disini nih.” Pujuk mak nis

“ndak ape mak nis, kan mak nis juga selalu bantu Tia dan jenguk sesekali kesini” jawabnya.

“ye lah kalau gitu, kau jage adek kau baek-baek, kalau Sahrel saket bawak kerumah mak nis ye. Kalau pantai nih ribot angen nye, jangan kau betunggu dalam rumah nih ye. Besepeda kau dengan adek-adek kau kerumah mak nis, alamak jaoh pulak rumah aku tuh dekat pasar sana, cubelah kau nih maok kubawa”, pesannya yang diakhiri dengan kesal karna jarak tempuh rumah Tia yang lumayan jauh dari rumahnya.
“iye mak nis, makaseh banyak bantuannye”. Jawabnya dengan senyum yang di paksakan.
belum lama mak nis Gayah pulang, Ifan datang dan menyandarkan sepedanya di dekat sepeda Tia, lalu masuk kerumah dengan wajah yang muram.
"dari mane kau Fan, lama gak mandi" tanyanya tanpa melihat ke arah adiknya itu, karna ia sibuk memindahkan lauk yang tadi diberikan oleh mak nis padanya.
"dari rumah bubun" jawab Ifan singkat.
Tia terkejut dan menoleh kepada nya, benar saja Ifan memang belum pergi mandi karna penampilannya memang masih sama seperti saat di pasar tadi.
"bubun dah datang?" tanyanya lagi.
"belum" jawab Ifan
"lalu ngape kau kesana?" tanya nya lagi. yang ditanya hanya diam sambil memberikan selembar kertas yang telah kusut, lalu Tia membacanya.

"Assalamualaikum bun, bile balek. ifan rindu. mak dan bapak pergi tinggalkan kamek berempat. kalau bun ade pulang walau sebentar datanglah kerumah ifan, sebentaaar jak".

Tia menarik tangan Ifan lalu memeluk adiknya itu dengan erat, tangis mereka pecah, sedih dan rindu itu begitu menyiksa, pikiran mereka sama, kesedihan mereka sama, dan entah kapan derita mereka sirna.